.
|*|.:.:::::... WELCOME TO MY WORLD "The Art of International Relations" ANYTHING IS POSSIBLE TO HOLD... Thank for Your Visiting ...:::::.:.:.|*|
.

Breaking News:

Attention!

Recommended to open this blog by using Mozilla Firefox for the best looking... Check it out... Don't have Mozilla Firefox? Download it now... + Adobe Flash Player 10

Blog Archives

November 13, 2008

Print this ArticlePrint this Article

By: Baiq Wardhani and M. Ikhsan Modjo

This article had been published in Jawa Pos, 4 June 2005...

Kasus Corby yang berujung amarah publik dan perbuatan teror sebagian masyarakat Australia adalah akibat hasutan pers setempat dan kalangan yang memang bersifat rasis terhadap Indonesia.

Yang kami khawatirkan akhirnya terjadi juga. Rabu (1 Juni 2005), selepas pukul setengah sebelas malam, Kedutaan Besar RI (KBRI) di Canberra, Australia, diteror serbuk biologis -bukan antraks sebagaimana yang diberitakan banyak media di Indonesia- oleh orang yang tidak bertanggung jawab di Australia.

Itu adalah perbuatan konyol. Itu merupakan buah hasutan media massa Australia yang memberikan pemberitaan sangat tak berimbang, cenderung bersifat rasis dalam kasus Schapelle Corby, mahasiswi asal Queensland, Australia. Dia tertangkap tangan membawa mariyuana di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, dan diganjar hukuman 20 tahun penjara.

Hanya Jargon

Beberapa pelajaran bisa dipetik dari peristiwa ini. Pertama, multikulturalisme yang didengung-dengungkan Australia baru sebatas jargon. Masih terdapat semacam white superiority complex di sebagian rakyat Australia yang cenderung rasis dan menyepelekan bangsa-bangsa di Asia seperti Indonesia.

Hal itu terbaca sangat jelas dari tindakan mencibir serta perkataan-perkataan rasis yang ditujukan bukan hanya pada sistem hukum Indonesia, tetapi juga bangsa Indonesia umumnya yang dilakukan secara luas bukan hanya oleh publik awam dan media massa, tapi juga oleh sebagian politisi. Misalnya, yang dilakukan Bob Brown, seorang politisi senior dari Partai Hijau (Green Party) Australia.

Di sebuah talk show radio setempat, sang pembawa acara dengan tanpa tedeng aling-aling menyatakan bahwa hakim yang menyidangkan Corby adalah (maaf) monyet hanya karena mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Begitu pula, di salah satu media massa cetak terbesar yang biasanya moderat, dalam berbagai pemberitaannya, tidak jarang menggunakan istilah-istilah berkonotasi penghinaan rasial seperti kata "indon" dan "uncivilised".

Kedua, kejadian tersebut menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Australia masih kurang mengenal makna ikhlas. Bagi sebagian di antaranya, memberi dan menerima tidak ubahnya seperti melakukan transaksi dagang. Sebab, nasib Corby ternyata jauh lebih berharga dibandingkan penderitaan ratusan ribu korban tsunami. Sebab, mereka tega meminta kembali bantuan yang sudah diberikan.

Bahkan, tidak kurang dalam hal ini, organisasi charity besar seperti Salvation Army dan aktor Russel Crowe ikut-ikutan meminta kembali bantuan tsunami tersebut. Mereka juga menyerukan pemboikotan Bali dan Indonesia. Satu hal yang mengherankan dan justru membuktikan kekerdilan jiwa.

Ketiga, pengiriman serbuk ke KBRI itu menunjukan bahwa terorisme tidaklah memiliki afiliasi bangsa atau agama sebagaimana yang digembar-gemborkan selama ini.

Kenyataannya, bangsa Australia yang mengaku antiperbuatan teror juga melakukan bukan hanya diplomatic harassment seperti perobekan bendera Merah Putih serta pembakaran foto presiden atau grafiti gedung perwakilan negara sahabat.

Selain itu, mereka melakukan ancaman-ancaman berbahaya seperti pengiriman peluru, ancaman mati, dan serbuk biologi berbahaya yang tidak lain tidak bukan adalah suatu bentuk terorisme.

Kemunafikan Politik

Hal yang juga kasat mata dari hikayat Corby itu adalah kemunafikan politik sebagian bangsa Australia. Di satu sisi, mereka berteriak agar Indonesia lebih demokratis (ala Barat) dan menuding korupnya sistem hukum di Indonesia. Di sisi lain, untuk membela Corby, mereka tidak segan-segan melakukan praktik yang tidak kurang korup, yakni meminta agar perdana menterinya mengintervensi sistem hukum Indonesia, sebuah negara tetangga yang demokratis dan berdaulat penuh.

Dalam hal ini, yang telah dilakukan pemerintah Australia dan Indonesia patut diacungi jempol. PM Howard dari Australia meminta maaf kepada pihak pemerintah dan rakyat Indonesia sembari meningkatkan keamanan di seputar kantor-kantor perwakilan Indonesia.

Pada saat yang sama, respons pihak Departemen Luar Negeri (Deplu) Indonesia yang terukur dan bijak juga patut disaluti. Sebagaimana diketahui, pihak Deplu melalui juru bicaranya telah mengecam keras tindakan tersebut. Tapi, di sisi lain, sebagaimana sudah sepatutnya, juga dinyatakan tidak akan terintimidasi dan menyalahkan keseluruhan publik Australia pada umumnya.

Satu pernyataan yang tentu saja arif. Sebab, rakyat Indonesia tidak mau dituding dan disalahkan atas tindakan segelintir teroris atas pengeboman di Bali dan Kedutaan Besar Australia di Jakarta yang banyak menelan korban, baik warga Australia maupun Indonesia.

Demikian pula dengan rakyat Australia secara umum. Tentu saja mereka tidak akan mau menerima bila dipersalahkan atas tindakan konyol yang dilakukan seorang atau sekelompok warganya yang tidak bertanggung jawab.

Anggota DPR Konyol

Komentar yang tidak proporsional dan mengherankan dalam hal ini justru keluar dari beberapa anggota legislatif kita yang cenderung emosional. Misalnya, pernyataan Dedi Djamaludin Malik, anggota Komisi I DPR, yang meminta agar pemerintah memutuskan hubungan diplomatik. Alasannya, tindakan tersebut dilakukan secara sengaja oleh pemerintah Australia.

Penyataan Dedi itu tidak hanya konyol, tapi juga memalukan. Sungguh tidak pantas pernyataan asbun alias asal bunyi tanpa berdasarkan fakta seperti itu dilakukan anggota DPR yang katanya terhormat.

Terlebih, pernyataan tersebut ditudingkan kepada sebuah pemerintah negara sahabat yang selama ini telah banyak membantu Indonesia. Tentu saja lain ceritanya bila pernyataan itu memang ditujukan hanya untuk mencari popularitas murahan.

Karena itu, peran pers dalam hal ini sangat vital. Pers Indonesia harus lebih dingin dan arif dalam merespons perkembangan. Informasi yang diberikan kepada rakyat harus berimbang dan tidak bersifat spekulatif tanpa dukungan fakta. Demikian pula, harus dihindari publikasi pernyataan-pernyataan yang tidak bertanggung jawab yang hanya akan memicu rentetan aksi dan aksi balik dari kedua negara.

Menghasut kemudian membalas itu tidak akan berguna dan justru akan merugikan. Sebab, bila tidak diwaspadai, bukan mustahil perbuatan saling hasut dan membalas tersebut akan berujung pada peningkatan suhu bilateral kedua negara yang akan meruntuhkan kerja sama di berbagai bidang seperti ekonomi, pemberantasan narkotika, penanggulangan terorisme, serta pendidikan yang sejatinya sudah mengalami banyak peningkatan beberapa tahun terakhir.

0 Responses to Hikmah Kasus Corby:

== == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == ==
Online Radio
IP
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Teşekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 Baiq Wardhani on http://baiq-wardhani.blogspot.com]*|...:::|*|
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Copyright © 2008 The Art of International Relations . All rights reserved.

The Modification of This Blog was Designed by: [ M. Edy Sentosa Jk. ] On the other Web of [ The Global Generations ] | [N*K*A]