.
|*|.:.:::::... WELCOME TO MY WORLD "The Art of International Relations" ANYTHING IS POSSIBLE TO HOLD... Thank for Your Visiting ...:::::.:.:.|*|
.

Breaking News:

Attention!

Recommended to open this blog by using Mozilla Firefox for the best looking... Check it out... Don't have Mozilla Firefox? Download it now... + Adobe Flash Player 10

Blog Archives

November 13, 2008

Print this ArticlePrint this Article

By: Baiq Wardhani

This article had been published in Indopos on Thursday, 20 April 2006

Untuk mempertahankan kebijakan tentang pemberian visa kepada 42 pencari suaka politik asal Papua, pemerintah Australia mengembuskan isu genosida (genocide, pembunuhan masal) atas warga Papua (Jawa Pos, 19/4/2006). Seperti diketahui, pemberian izin tinggal selama tiga tahun bagi warga Papua tersebut telah memicu perseteruan diplomatik antara Indonesia dan Australia yang sampai detik ini masih memanas. Bahkan, dalam perkembangan paling baru ketegangan Jakarta-Canberra, PM John Howard menolak meminta maaf karena menganggap tindakannya benar secara prosedur hukum maupun standar moral yang berlaku di Australia.

Menarik untuk ditilik, benarkah terjadi genosida di Papua dan mengapa Howard bersikeras mempertahankan kebijakannya tersebut? Warga Australia sangat sensitif terhadap isu yang menyangkut keselamatan dan nyawa manusia. Apalagi, hal itu terjadi di Papua, salah satu zona penyangga pertahanan Australia.

Pandangan Warga Australia

Keberhasilan diberikannya visa bagi 42 warga Papua itu tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan lobi Papua yang terdiri atas berbagai kelompok masyarakat di Australia. Lobi Papua dengan suksesnya bisa meyakinkan para pejabat imigrasi Australia bahwa nyawa mereka terancam jika kembali ke Indonesia.

Dalam salah satu tulisannya di The Age, 13/4/2006, wartawan Australia John Martinkus menulis pada 2003 saat dirinya berkunjung ke Papua, "The intimidation and attacks on human rights workers by the Indonesian military and the outrage of the West Papuan leaders." Peristiwa itu berkaitan dengan akan diberlakukannya otsus Papua 2001.

Kerusuhan demi kerusuhan sebagai akibat terpecahnya suara rakyat Papua mengenai otsus itu mengakibatkan dilarangnya wartawan asing mengunjungi Papua. Larangan tersebut juga diberlakukan untuk akademisi, LSM, wakil-wakil gereja, pemantau HAM, dan perwakilan Uni Eropa setingkat Dubes. Sampai saat ini pun, menurut Martinkus, larangan tersebut masih berlaku.

Dan, yang menarik dalam tulisan Martinkus, seperti halnya di Aceh dan Maluku, daerah-daerah tersebut sangat rawan karena genosida masih terus berlangsung. Hal tersebut, menurut dia, bertolak belakang dengan yang ditulis salah seorang diplomat yang menyatakan, di tengah era komunikasi global seperti saat ini, hampir tidak mungkin terjadi pembunuhan yang tidak tercium media asing. Martinkus menyangkal, bagaimana mungkin wartawan asing mengetahui hal yang terjadi di Papua jika wilayah itu tertutup bagi mereka? Pertemuan Martinkus dengan Johannes Bonay, direktur ELSHAM di Papua, semakin memperkuat keyakinannya bahwa memang terjadi genosida di tanah Papua.

Sebuah laporan setebal 52 halaman yang ditulis John Wing dan Peter King yang diterbitkan pada 2005 oleh West Papua Project dan ELSHAM mengungkapkan, selama 50 tahun rakyat Papua terus-menerus hidup dalam ancaman keselamatan. Genosida yang dilakukan bervariasi, mulai pembasmian pendukung kelompok separatis oleh militer, maraknya HIV/AIDS, sampai buruknya gizi. Sedikit demi sedikit semua itu akan menyumbang berkurangnya jumlah penduduk asli Papua dan akhirnya rakyat Papua akan menjadi minoritas di tanah sendiri.

Riset yang dilakukan pada 2003-2005 di beberapa kota di Papua seperti Jayapura, Sorong, Timika, Merauke, Wamena, Mulia, dan Manokwari juga mengungkapkan, setelah era reformasi pun, rakyat Papua belum bisa menikmati perdamaian. Bahkan, kondisinya lebih parah karena politik adu domba Jakarta atas sejumlah isu yang menyangkut Papua seperti otsus dan pembagian Papua.

Demonstrasi damai dilawan tindakan brutal militer dan para milisinya. Selain itu, berbagai operasi militer yang digelar untuk membasmi para pemberontak separatis selalu diikuti pengungsian warga Papua dalam jumlah besar. Tingginya tingkat kematian bayi dan ibu di Papua seolah-olah menegasikan peran pemerintah RI yang berjanji akan memberikan kemakmuran bagi Papua. Juga, penyakit HIV/AIDS yang merebak di berbagai tempat di Papua menghilangkan kesan bahwa pemerintah memperhatikan kesehatan penduduk setempat. Laporan tersebut mengesankan pemusnahan rakyat Papua adalah tindakan sistematis dan direncanakan.

Laporan itu menyebutkan bahwa xenophobia (takut pada orang asing) telah menjangkiti sebagian besar orang Indonesia yang memandang miring penduduk Papua. Karena itu, bukan hanya genosida yang terjadi, bahkan etnosida (ethnocide) atau pemusnahan etnis (ethnic cleansing). Laporan ini menyimpulkan, sumber penderitaan rakyat dan ketidakstabilan Papua adalah militer dengan berbagai bentuk kehadiran serta kegiatannya.

Bangsa Rouge?

Jika ditilik dari laporan tersebut, kita patut bertanya, benarkah Indonesia kini menjadi bangsa rouge? Stigmatisasi rouge diberikan pada sekelompok orang yang secara terorganisasi bertindak menyalahi hukum dan moral. Terlepas dari sampai kepentingan apa di balik laporan itu, kita perlu bertanya, mengapa ada kesan begitu dalam dari para aktivis HAM dan orang asing bahwa benar terjadi genosida atas orang Papua?

Hal tersebut tentu tidak terlepas dari pengalaman sejarah yang dipenuhi bermacam tindakan militer untuk menghabisi pemberontak. Pendekatan itu dalam skala yang lebih kecil masih digunakan sampai saat ini. Hukum internasional memang membolehkan penggunaan kekerasan oleh negara untuk mengatasi masalah separatisme. Bahkan, di negara paling demokratis seperti Inggris dan Kanada, praktik itu terjadi. Lalu, mengapa Indonesia menjadi sorotan? Jawabannya tentu bisa dianalisis dari berbagai pendekatan.

Namun, secara sederhana, kita perlu menyadari, masih berlanjutnya praktik kekerasan di Papua tidak terlepas dari kompleksitas masalah Papua dan hubungan Jakarta-Papua. Proses integrasi nasional, walaupun secara hukum telah selesai, secara kultural masih berlangsung. Proses ini belum berhenti sampai menemukan bentuk yang diharapkan kedua pihak. Sayangnya, pencarian bentuk itu mengalami kendala yang penyelesaiannya sering menggunakan kekerasan serta memakan jiwa manusia dan dilakukan alat negara. Kita menjadi bangsa yang sakit dengan cara memelihara tradisi kekerasan.

Lebih disayangkan, alat negara seolah-olah mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan cara memelihara konflik tersebut. Militer sering terlibat berbagai kegiatan bisnis, legal maupun ilegal, di wilayah konflik. Bisnis ilegal menjadi semacam pembenar bagi kehadirannya di wilayah konflik. Kondisi tersebut ditunjang kecilnya gaji militer. Sehingga, keadaan itu melahirkan keruwetan masalah yang sulit dicari penyelesaiannya.

0 Responses to Genosida di Papua?:

== == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == ==
Online Radio
IP
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Teşekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 Baiq Wardhani on http://baiq-wardhani.blogspot.com]*|...:::|*|
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Copyright © 2008 The Art of International Relations . All rights reserved.

The Modification of This Blog was Designed by: [ M. Edy Sentosa Jk. ] On the other Web of [ The Global Generations ] | [N*K*A]