Breaking News:
Attention!
Blog Archives
November 13, 2008
By: Baiq Wardhani
Untuk mempertahankan kebijakan tentang pemberian visa kepada 42 pencari suaka politik asal Papua, pemerintah Australia mengembuskan isu genosida (genocide, pembunuhan masal) atas warga Papua (Jawa Pos, 19/4/2006). Seperti diketahui, pemberian izin tinggal selama tiga tahun bagi warga Papua tersebut telah memicu perseteruan diplomatik antara
Menarik untuk ditilik, benarkah terjadi genosida di Papua dan mengapa Howard bersikeras mempertahankan kebijakannya tersebut? Warga
Pandangan Warga
Keberhasilan diberikannya visa bagi 42 warga Papua itu tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan lobi Papua yang terdiri atas berbagai kelompok masyarakat di
Dalam salah satu tulisannya di The Age, 13/4/2006, wartawan Australia John Martinkus menulis pada 2003 saat dirinya berkunjung ke Papua, "The intimidation and attacks on human rights workers by the Indonesian military and the outrage of the West Papuan leaders." Peristiwa itu berkaitan dengan akan diberlakukannya otsus Papua 2001.
Kerusuhan demi kerusuhan sebagai akibat terpecahnya suara rakyat Papua mengenai otsus itu mengakibatkan dilarangnya wartawan asing mengunjungi Papua. Larangan tersebut juga diberlakukan untuk akademisi, LSM, wakil-wakil gereja, pemantau HAM, dan perwakilan Uni Eropa setingkat Dubes. Sampai saat ini pun, menurut Martinkus, larangan tersebut masih berlaku.
Dan, yang menarik dalam tulisan Martinkus, seperti halnya di Aceh dan Maluku, daerah-daerah tersebut sangat rawan karena genosida masih terus berlangsung. Hal tersebut, menurut dia, bertolak belakang dengan yang ditulis salah seorang diplomat yang menyatakan, di tengah era komunikasi global seperti saat ini, hampir tidak mungkin terjadi pembunuhan yang tidak tercium media asing. Martinkus menyangkal, bagaimana mungkin wartawan asing mengetahui hal yang terjadi di Papua jika wilayah itu tertutup bagi mereka? Pertemuan Martinkus dengan Johannes Bonay, direktur ELSHAM di Papua, semakin memperkuat keyakinannya bahwa memang terjadi genosida di tanah Papua.
Sebuah laporan setebal 52 halaman yang ditulis John Wing dan Peter King yang diterbitkan pada 2005 oleh West Papua Project dan ELSHAM mengungkapkan, selama 50 tahun rakyat Papua terus-menerus hidup dalam ancaman keselamatan. Genosida yang dilakukan bervariasi, mulai pembasmian pendukung kelompok separatis oleh militer, maraknya HIV/AIDS, sampai buruknya gizi. Sedikit demi sedikit semua itu akan menyumbang berkurangnya jumlah penduduk asli Papua dan akhirnya rakyat Papua akan menjadi minoritas di tanah sendiri.
Riset yang dilakukan pada 2003-2005 di beberapa
Demonstrasi damai dilawan tindakan brutal militer dan para milisinya. Selain itu, berbagai operasi militer yang digelar untuk membasmi para pemberontak separatis selalu diikuti pengungsian warga Papua dalam jumlah besar. Tingginya tingkat kematian bayi dan ibu di Papua seolah-olah menegasikan peran pemerintah RI yang berjanji akan memberikan kemakmuran bagi Papua. Juga, penyakit HIV/AIDS yang merebak di berbagai tempat di Papua menghilangkan kesan bahwa pemerintah memperhatikan kesehatan penduduk setempat. Laporan tersebut mengesankan pemusnahan rakyat Papua adalah tindakan sistematis dan direncanakan.
Laporan itu menyebutkan bahwa xenophobia (takut pada orang asing) telah menjangkiti sebagian besar orang
Bangsa Rouge?
Jika ditilik dari laporan tersebut, kita patut bertanya, benarkah
Hal tersebut tentu tidak terlepas dari pengalaman sejarah yang dipenuhi bermacam tindakan militer untuk menghabisi pemberontak. Pendekatan itu dalam skala yang lebih kecil masih digunakan sampai saat ini. Hukum internasional memang membolehkan penggunaan kekerasan oleh negara untuk mengatasi masalah separatisme. Bahkan, di negara paling demokratis seperti Inggris dan Kanada, praktik itu terjadi. Lalu, mengapa
Namun, secara sederhana, kita perlu menyadari, masih berlanjutnya praktik kekerasan di Papua tidak terlepas dari kompleksitas masalah Papua dan hubungan Jakarta-Papua. Proses integrasi nasional, walaupun secara hukum telah selesai, secara kultural masih berlangsung. Proses ini belum berhenti sampai menemukan bentuk yang diharapkan kedua pihak. Sayangnya, pencarian bentuk itu mengalami kendala yang penyelesaiannya sering menggunakan kekerasan serta memakan jiwa manusia dan dilakukan alat negara. Kita menjadi bangsa yang sakit dengan cara memelihara tradisi kekerasan.
Lebih disayangkan, alat negara seolah-olah mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan cara memelihara konflik tersebut. Militer sering terlibat berbagai kegiatan bisnis, legal maupun ilegal, di wilayah konflik. Bisnis ilegal menjadi semacam pembenar bagi kehadirannya di wilayah konflik. Kondisi tersebut ditunjang kecilnya gaji militer. Sehingga, keadaan itu melahirkan keruwetan masalah yang sulit dicari penyelesaiannya.
0 Responses to Genosida di Papua?:
Post a Comment