.
|*|.:.:::::... WELCOME TO MY WORLD "The Art of International Relations" ANYTHING IS POSSIBLE TO HOLD... Thank for Your Visiting ...:::::.:.:.|*|
.

Breaking News:

Attention!

Recommended to open this blog by using Mozilla Firefox for the best looking... Check it out... Don't have Mozilla Firefox? Download it now... + Adobe Flash Player 10

Blog Archives

December 3, 2008

By: Baiq Wardhani

Setiap tahun menjelang peringatan HUT RI, orang teringat kembali pada masa lalu, awal terbentuknya bangsa, kebangsaan dan nasionalisme yang kemudian bernama Indonesia. Setelah beberapa tahun menikmati alam kemerdekaan melalui berbagai proses keberbangsaan, kini bangsa Indonesia mengalami suatu fase yang mempersoalkan kebersamaan sebagai suatu bangsa. Banyak orang bertanya apakah kita masih punya nasionalisme dan apa relevansi nasionalisme itu bagi kebersamaan kita sebagai suatu bangsa?

Proyek Nasionalisme

Benedict Anderson menyatakan, nasionalisme pertama kali muncul akibat erosi keagamaan. Nation muncul sebagai institusi yang dipercaya untuk penyerahan loyalitas yang sebelumnya diserahkan pada agama. Hal itu terjadi pada pra abad XX. Namun selanjutnya, dengan derasnya dorongan arus globalisasi, terjadi hal yang sebaliknya. Berkaitan dengan keberadaan negara, terdapat dua hal yang menyebabkan melemahnya peran institusi keagamaan. Pertama, globalisasi sering disebut sebagai penyebab ‘erosi dari atas’ pada nilai-nilai nasionalisme dan memperkuat kembali institusi agama sebagai sebagai sarana pemersatu. Hal ini banyak terjadi di beberapa imaginary community yang dalam konsepsi Anderson dapat diidentikkan dengan negara. Kini muncul berbagai ‘nation’ tidak resmi maupun virtual state yang dijadikan wadah baru bagi penyerahan kesetiaan para warganya.

Kedua, nilai-nilai nasionalisme juga mengalami krisis akibat gerakan-gerakan masyarakat dari bawah yang bertujuan menggugat peranan negara, yang hal ini lazim disebut sebagai devolusi. Dua fenomena ini menandai babak baru yang sering disebut orang sebagai berakhirnya ideologi (the end of ideology). Berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat dunia menjadikan negara yang memiliki kapasitas adaptif rendah tidak mampu secara sendiri mengatasi krisis ini sehingga negara tidak lagi dipandang powerful dan legitimasinya diragukan. Negara sebagai entitas juga diragukan kemampuannya mengatasi tekanan-tekanan itu sehingga memunculkan entitas lain dalam bentuk aliansi negara untuk ‘membantu’ krisis di suatu negara tertentu. Dalam hal ini kedaulatan menjadi harga mahal yang dipertaruhkan.

Ketidakmampuan negara merespon berbagai tuntutan rakyat, mengakibatkan penyerahan identitas bergeser pada entitas lain seperti etnis. Munculnya nasionalisme etnis di tingkat negara, menurut Thomas Scheff (1994) ditengarai sebagai akibat rasa keterasingan (sense of alienation) di satu pihak dan kejengkelan karena perlakuan tidak adil dalam suatu sistem yang tidak melibatkan pihak tertentu (unfair exclusion), baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial. Perilaku tidak adil ini menghilangkan rasa kebanggaan dan self respect (yang merupakan komponen penting dalam terbentuknya nation) kelompok tertentu pada negara. Akibatnya, terdapat kelompok yang merasa terpinggirkan oleh sistem yang tidak adil tersebut sehingga kelompok itu merasa perlu untuk membangkitkan kembali sentimen-sentimen identitas yang bisa mendongkrak rasa percaya diri mereka. Dalam identitas terkandung kepercayaan yang tinggi dari anggota suatu kelompok, yang merupakan refleksi dan artikulasi, baik positif maupun negatif yang mampu membangkitkan rasa persamaan secara emosional yang dapat digunakan sebagai pembeda dengan kelompok lain.

Jika terjadi konflik antara negara dan sub-negara/masyarakat, hal tersebut bisa disebabkan karena terjadi kesenjangan identitas di tingkat makro (negara) dan di tingkat mikro (sub negara/masyarakat). Sub-negara selalu diposisikan sebagai kelompok yang menjadi korban represi negara, dan karenanya kelompok ini perlu menciptakan atau menemukan kembali representasi identitas yang, jika mungkin berbeda sama sekali dengan identitas di tingkat makro dan berupaya menghilangkan stigmatisasi yang telah diberikan oleh negara. Jika tekanan dari pihak negara berkelanjutan dan dillakukan secara sistematis, ini akan menghilangkan secara perlahan-lahan apa yang disebut Norbert Elias (1994) sebagai “We-Images”. Kelompok sub-nasionalis akan menarik diri dari kontrak (withdraw) dari organisasi sosial yang bernama negara yang dianggapnya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan emosionalnya. Kelompok ini akan membentuk survival unit yang mampu menampung identifikasi emosional (rasa aman, dan ‘meaning’ di antara mereka) dan fisik (makanan, pakaian, tempat tinggal).

Yang tercabik-cabik

Nasionalisme secara sederhana adalah rasa kebangsaan yang tertanam dalam diri seseorang. Ernst Renan menyatakan bahwa esensi nasionalisme adalah rasa kepemilikan (sense of belonging) seseorang yang mengikatnya secara emosional pada sekelompok entitas tertentu. Rasa kepemilikan itulah yang menjadi indikator nasionalisme, yang rasa ini tidak dipengaruhi waktu dan jarak.

Berbagai tekanan dari dalam dan luar secara sistematis mempengaruhi kadar nasionalisme seseorang. Dengan demikian dari waktu ke waktu nasionalisme mangalami perubahan, baik peningkatan mapun penurunan. Secara umum, tingginya tingkat nasionalisme dapat diukur ketika suatu bangsa menghadapi ancama eksternal. Sebaliknya, kadar nasionalisme menurun seringkali justru datang dari dalam. Tekanan-tekanan tersebut secara sistematis mampu mencabik-cabik nasionalisme sehingga dapat menyebabkan berbagai persoalan keberbangsaan seperti disintegrasi, baik vertikal (disintegrasi nasional) maupun horisontal (disintegrasi sosial).

Berbagai persoalan pelik yang sedang dihadapi bangsa Indonesia memunculkan pertanyaan klasik yang belum terjawabkan: masihkah kita memiliki nasionalisme? Seberapa kuat rasa nasionalisme kita? Masih adakah rasa keIndonesiaan kita ketika tekanan-tekanan itu semakin kuat menindih kita? Sampai seberapa jauhkan kita mampu survive sebaga suatu bangsa? Sebeapa kuatkah komitmen para pemimpin negara mempertahankan rasa kepemilikan berbangsa di kalangan rakyatnya? Di atas semua itu, erosi kerbersamaan kita sebagai bangsa Indonesia adalah masalah kita bersama.

Adalah pelajaran menarik dari Uni Soviet dan Yugoslavia. Selama masa kejayaannya, bermacam etnis yang berbeda di negara-negara tersebut mengalami kesulitan untuk ‘meleburkan’ identitas etnis dalam identitas nasional bernegara. Menurut Jack Snyder (1993), ada senjang yang lebar antara civic nationalism dengan ethnic nationalism. Identitas sebagai bangsa Chechnya, misalnya, lebih kuat daripada identitas sebagai bangsa Uni Soviet, sebagaimana identitas orang Bosnia lebih kuat daripada identitasnya sebagai bangsa Yugoslavia. Kuatnya pemimpin negaralah yang menyebabkan mereka tetap bersatu (dalam keterpaksaan). Namun ketika para pemimpin itu tiada, hilang pulalah instrumen pemersatu itu.

Berbagai tekanan internal dan eksternal dapat memupuskan harapan akan kebersamaan itu. Patricia Mayo (1974) menyebutnya sebagai ‘the loss of community’. Para perintis kemerdekaan dan perancang ‘kebersamaan’ Indonesia tentu tidak menginginkan hal ini terjadi pada bangsa kita. Masalahnya adalah bagaimana mempertahankan, setidaknya memulihkan rasa kepemilikan dan kesetiaan yang mulai hilang itu? Atau ini adalah suatu keniscayaan yang tak terhindakan sehingga kita pun tak perlu repot-repot memikirkannya?

1 Response to Masih Adakah Nasionalisme?:

  1. Nasionalisme etnisitas tak selamanya menggerogoti. Gerakan masyarakat adat zapatista di Meksiko bukti nyatanya. Dengan semangat adat, mereka berjuang atas nama nasionalisme dalam kerangka negara-bangsa. Mereka jadi pemberontak untuk menegaskan kembali identitas kebangsaan Meksiko, bukan untuk separatisme/berkuasa.

== == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == ==
Online Radio
IP
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Teşekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 Baiq Wardhani on http://baiq-wardhani.blogspot.com]*|...:::|*|
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Copyright © 2008 The Art of International Relations . All rights reserved.

The Modification of This Blog was Designed by: [ M. Edy Sentosa Jk. ] On the other Web of [ The Global Generations ] | [N*K*A]