Breaking News:
Attention!
Blog Archives
December 3, 2008
By: Baiq Wardhani
Berbagai konflik dan krisis yang melanda
Konflik etnis yang berbasis pemisahan diri dan self-determination menjadi gejala yang lumrah bagi sebuah nation-state. Di tingkat nasional tentu ini sangat memprihatinkan dan banyak orang itdak ingin melihat tragedi balkanisasi berlangsung di negara kesatuan ini. Beberapa cara sudah dilakukan oleh para pemegang kekuasaan, terlepas dari apakah cara itu efektif menghentikan gejolak yang sudah lama terpendam itu. Di tingkat sub-negara, cara-cara yang dipakai oleh negara ternyata belum mampu meredam kemarahan dan ketidakpuasan itu, bahkan banyak di antaranya yang kontra produktif dan semakin memperparah konflik.
Salah satu cara yang dianggap paling tidak populer adalah dengan operasi militer. Berlangsungnya operasi-operasi semacam itu memang mampu membinasakan para pemimpin pemberontak namun tidak mampu membinasakan semangat para pejuangnya untuk menyerah, bahkan telah melahirkan para pejuang baru yang lebih militan. Penyelesaian secara militer semata-mata hanyalah bersifat parsial. Yang lebih penting untuk dibinasakan adalah akar masalah dari pemberontakan itu sendiri, yang sejauh ini bersumber pada ketidakmampuan negara untuk memenuhi kebutuhan emosional warganya. Inilah yang mendesak untuk dilakukan jika negara kesatuan ini hendak dipertahankan.
Kedua, nilai-nilai nasionalisme juga mengalami krisis akibat gerakan-gerakan masyarakat dari bawah yang bertujuan menggugat peranan negara, yang hal ini lazim disebut sebagai devolusi. Dua fenomena ini menandai babak baru yang sering disebut orang sebagai berakhirnya ideologi (the end of ideology). Berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat dunia menjadikan negara yang memiliki kapasitas adaptif rendah tidak mampu secara sendiri mengatasi krisis ini sehingga negara tidak lagi dipandang powerful dan legitimasinya seringkali diragukan. Negara sebagai entitas juga diragukan kemampuannya mengatasi tekanan-tekanan itu sehingga memunculkan entitas lain dalam bentuk aliansi negara untuk ‘membantu’ krisis di suatu negara tertentu atas nama intervensi kemanusiaan. Dalam hal ini kedaulatan menjadi harga mahal yang dipertaruhkan.
Munculnya nasionalisme etnik di tingkat negara, menurut Thomas Scheff (1994) ditengarai sebagai akibat rasa keterasingan (sense of alienation) di satu pihak dan kejengkelan karena perlakuan tidak adil dalam suatu sistem yang tidak melibatkan pihak tertentu (unfair exclusion), baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial. Perilaku tidak adil ini menghilangkan rasa kebanggaan dan self respect kelompok tertentu tersebut, yang merupakan komponen penting dalam terbentuknya nation. Akibatnya, terdapat kelompok yang merasa terpinggirkan oleh sistem yang tidak adil tersebut sehingga kelompok itu merasa perlu untuk membangkitkan kembali sentimen-sentimen identitas yang bisa mendongkrak rasa percaya diri mereka. Dalam identitas terkandung kepercayaan yang tinggi dari anggota suatu kelompok, yang merupakan refleksi dan artikulasi, baik positif maupun negatif yang mampu membangkitkan rasa persamaan secara emosional yang dapat digunakan sebagai pembeda dengan kelompok lain.
Jika terjadi konflik antara negara dan sub-negara/masyarakat, hal tersebut bisa disebabkan karena terjadi kesenjangan identitas di tingkat makro (negara) dan di tingkat mikro (sub negara/masyarakat). Sub-negara selalu diposisikan sebagai kelompok yang menjadi korban represi negara, dan karenanya kelompok ini perlu menciptakan atau menemukan kembali representasi identitas yang, jika mungkin berbeda sama sekali dengan identitas di tingkat makro dan berupaya menghilangkan stigmatisasi yang telah diberikan oleh negara. Jika tekanan dari pihak negara berkelanjutan dan dillakukan secara sistematis, ini akan menghilangkan secara perlahan-lahan apa yang disebut Norbert Elias sebagai “We-Images”. Kelompok sub-nasionalis akan menarik diri dari kontrak (withdraw) dari organisasi sosial yang bernama negara yang dianggapnya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan emosionalnya. Kelompok ini akan membentuk survival unit yang mampu menampung identifikasi emosional (rasa aman, dan ‘meaning’ di antara mereka) dan fisik (makanan, pakaian, tempat tinggal).
Konflik-konflik pemisahan diri dan self-determination yang biasanya terjadi dalam masyarakat majemuk seperti
Dalam kasus
Apa yang dilakukan pemerintah saat ini untuk mengembalikan kepercayaan rakyat Aceh pada republik hendaknya tidak mengulangi kesalahan dimasa lalu. Pengalaman masa lalu hendaknya dijadikan pelajaran berharga. Pemerintah jangan menyia-nyiakan warga negaranya dengan berbagai tindak ketidakadilan yang menyulut kemarahan etnik/kelompok masyarakat tertentu. Jika sudah terlanjur terjadi, pemerintah seharusnya lebih mawas diri dan bersedia memperbaiki kesalahan. Adalah tugas berat pemerintah untuk kembali menciptakan kembali “We Images” dengan cara-cara bijaksana. Langkah ini diperlukan agar kelompok yang merasa tidak diuntungkan dalam proses nation-building tidak manarik diri dari kontrak kenegaraan dengan pemerintah pusat, jika pemerintah masih ingin mempertahankan negara kesatuan ini.
0 Responses to Konflik Sub-Nasional dan Penciptaan We-Images:
Post a Comment