Breaking News:
Attention!
Blog Archives
February 27, 2009
Print this Article__________
By: Baiq LWS Wardhani
Saat ini
Berbagai persoalan bangsa itu membawa pertanyaan: bagaimanakah pendidikan di
Pertanyaan mendasar yang dikemukakan dalam makalah ini adalah: bagaimanakah peran pendidikan dalam membentuk karakter nasional yang dapat dijadikan soft power sebagai modal untuk menghadapi persaingan di era kesejagatan (globalisasi)? Argumen yang dicoba dikemukanan di sini adalah, pendidikan merupakan elemen dasar yang harus dibangun, diperkuat dan diutamanakan jika bangsa
Pendidikan dan Karakter Nasional
Apakah karakter nasional itu dan seperti apakah karakter nasional bangsa
Secara definitif karakter nasional adalah kualitas psikologis yang dimiliki secara kolektif oleh sekelompok masyarakat. Istilah ini sering digunakan secara bergantian dengan nilai-nilai inti (core values), yaitu dapat dipercaya/amanah (trustworthiness), hormat (respect), tanggungjawab (responsibility), kejujuran (fairness), kasih sayang (caring), dan kewarganegaraan (citizenship) (oregonstate.edu/instruct/anth370/gloss.html).
Pendidikan seperti apa yang dikembangkan agar anak didik memiliki karakter bangsa yang membentuk elemen-elemen dalam core values? Apakah masalah yang dihadapi oleh otoritas pelaksana pendidikan di
Pertama, masalah otoritas pendidikan yang memberi penekanan pada aspek kognitif yang berlebihan. Aspek ini merupakan aspek yang relatif paling mudah dilaksanakan dibandingkan dengan dua aspek lainnya, yaitu afektif dan psikomotorik. Akibatnya, peserta didik sebatas ‘tahu’ dan ‘mengenal’ materi pembelajaran tanpa memahami, apalagi menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat kendala dalam menerapkan aspek afektif dan psikomotorrik dalam sikap dan perilaku keseharian. Akibatnya, pendidikan terjebak dalam pola yang mekanistis. Bagaimana mungkin pola mekanistis mampu membentuk karakter bangsa yang memerlukan sentuhan manusiawi? Pendidikan nasional di Indonesia cenderung menghasilkan “manusia robot” yang tidak toleran dan apatis, dengan mereduksi makna manusia sebagai homo socius. Lembaga pendidikan PBB, UNESCO, menggariskan pentingnya tiga unsur dalam proses pendidikan, yaitu belajar untuk tahu (learn to know), belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learn to be her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to live together) (Sahid, 2000).
Kedua, persoalan terbatasnya dana yang dialokasikan untuk pengembangan sektor pendidikan.
Ketiga, hal kesiapan tenaga pendidik untuk mempersiapkan tujuan yang ditargetkan. Tenaga pendidik merupakan ujung tombak bagi keberhasilan tujuan pendidikan. Mereka harus dipersiapkan sedemikian rupa agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Paradigma baru pendidikan nasional menuntut tenaga pengajar secara terus menerus memperbaharui pengetahuan (refresh/up-date), bersikap terbuka terhadap hal-hal baru (open mind) dan bersikap bersedia membantu (helpful). Tenaga pengajar, terutama di pendidikan tingkat dasar, berperan tidak hanya sebagai pengalih (transfer) ilmu melainkan juga pembentuk karakter anak didik. Peran ini belum dilaksanakan secara maksimal oleh tenaga pengajar nasional terkait dengan proses seleksi dan pemenuhan kebutuhan dasar yang masih problematik.
Terakhir, diperlukan lingkungan sekitar dan suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan pendidikan. Ketiga faktor terdahulu tidak berarti apapun jika faktor terakhir ini tidak mendukung. Diperlukan stabilitas nasional, dukungan keluarga, masyarakat, LSM maupun lembaga lain merupakan pilar-pilar pendukung bagi keberlangsungan iklim pendidikan yang produktif dan berdampak positif bagi terciptanya karakter bangsa peserta didik. Jika salah satu pilar terganggu maka seluruh proses pembelajaran pun terganggu.
Soft Power dan Globalisasi
Soft power[1] berarti bagaimana mendapatkan sesuatu yang diinginkan tanpa menggunakan kekerasan fisik atau paksaan uang. Soft power muncul dari daya tarik suatu bangsa yang bersumber dari kebudayaan, kearifan lokal, pemikiran-pemikiran cemerlang dan kreatif warganegaranya. Soft power merupakan elemen penting kekuatan nasional dan menjadi kian penting di masa kini dan mendatang.
Mengapa soft power penting di era kesejagatan? Argumen dasarnya adalah, hanya dengan memiliki soft power,
Salah satu ciri era kesejagatan adalah kompetisi sekaligus saling ketergantungan, yang dua hal ini memerlukan pengelolaan agar dapat memberi manfaat maksimal. Kondisi saling ketergantungan sengaja diciptakan sebagai paradigma manajemen modern yang memandang keberhasilan sebagai hasil kerja kelompok. Interdependensi dalam era kesejagatan menciptakan interaksi yang semakin meningkat dan intensif, yang darinya dapat melahirkan peluang-peluang baru yang harus dimanfaatkan agar globalisasi mampu memberi makna positif.
Hanya negara-negara yang memiliki karakter nasional kuat yang siap bersaing ditengah globalisasi. Tengoklah dua bangsa besar yang sering menjadi contoh masyarakat yang memiliki karakter nasional yang kuat, yakni
Bandingkan dengan
Kekuatan nasional seringkali muncul saat terdapat “musuh bersama” yang harus dihadapi. Jika pada masa revolusi kemerdekaan musuh bersama bangsa
Bagaimanakah peranan perguruan tinggi dalam mengembangkan soft power?
Karakter nasional yang kuat diperlukan sebagai modal utama menciptakan soft power. Membentuk (kembali) karakter nasional bukanlah proses instan dan diperlukan tenggang waktu yang panjang untuk selanjutnya menjadikannya sebagai soft power. Diperlukan kerja keras, terus menerus dan memerlukan dukungan dan kesediaan semua aktor, baik negara maupun segenap lapisan masyarakat. Amerika, misalnya memerlukan sekitar dua abad (200 tahun) untuk menuju ke arah tersebut. Amerika dapat disebut sebagai salah satu negara yang paling banyak ‘mengekspor’ soft power, mulai dari ilmu dan teknologi, ide-ide, pemikiran dan ciptakarya baru, budaya pop, makanan dan minuman, sampai gaya hidup.
Secara lebih khusus saya ingin menggarisbawahi pentingnya lembaga pendidikan dalam membangun soft power yang dapat dijadikan modal bersaing di era globalisasi. Lembaga pendidikan formal maupun non-formal adalah tempat yang paling tepat untuk membangun insan unggul karena di tempat-tempat inilah ide-ide disampaikan, kecerdasan dipertajam, kepekaan diasah, dan ketrampilan diajarkan. Lembaga pendidikan dasar merupakan ujung tombak pencapaian tujuan tersebut karena pada tempat inilah anak didik difasilitasi untuk menerima proses belajar yang mengarahkan mereka kepada pembentukan karakter nasional.
Lembaga pendidikan tinggi pun berperan sebagai institusi yang melanjutkan upaya-upaya yang dasar-dasarnya telah diletakkan di pendidikan dasar. Lembaga pendidikan tinggi memiliki peran sebagai agen perubahan yang dapat memberi kemaslahatan bagi rakyat banyak. Berdasarkan misi yang diembannya tersebut, lembaga pendidikan selayaknya mengembangkan pendekatan dan/ sistem pendidikan yang humanistik yang “menjadikan peserta didik sebagai subyek yang mengikuti learning process yang bebas dan kreatif…” (Sujana, et. al, 2007: 6) Pendidikan tinggi diharapkan berperan sebagai pencetak para intelektual yang humanis, yang siap bersaing dan mampu mensejajarkan
Joseph S. Nye (2003) berpendapat bahwa perguruan tinggi memiliki peranan penting dalam menciptakan soft power.
Secara umum, pendidikan di semua jenjang harus mampu berperan dan mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi era kesejagatan. Secara lebih khusus, peranan perguruan tinggi dalam mengembangkan soft power dapat dikategorikan dalam dua hal: pertama, sebagai pencetak atau penghasil para intelektual yang memiliki berbagai soft skills yang dapat dikembangkan sebagai soft power (fungsi ini disebut fungsi produksi); kedua, lembaga pendidikan sebagai subyek sekaligus role model bagi pelaksana nilai-nilai soft power (fungsi ini disebut fungsi figuratif).
Peran pertama (sebagai fungsi produksi) dapat dilakukan dengan cara menciptakan proses belajar mengajar yang diarahkan pada dihasilkannya tenaga intelektual yang memiliki daya nalar tajam, terampil dalam bidang ilmunya, mempunyai kepekaan sosial yang tinggi dan mampu memberi sumbangan positif pada sekelilingnya. Hal ini dapat dicapai apabila didukung oleh empat faktor seperti tersebut di atas, yaitu tersedianya kurikulum yang baik dan mendukung pencapaian tujuan, dana yang memadai, tenaga pendidik yang berkualitas, dan lingkungan yang kondusif. Perguruan tinggi-perguruan tinggi terkemuka di dunia yang mendudukkan diri sebagai centre of excellence, selalu berupaya menjalankan fungsi ini secara maksimal.
Peran kedua (sebagai fungsi figuratif) dlaksanakan oleh pergutruan tinggi yang dapat menjadikan dirinya sebagai role model bagi pengembangan soft power. Tujuan ini dapat dilaksanakan, misalnya dengan cara meningkatkan program pertukaran pelajar dengan bangsa yang berkultur berbeda, dan dengan meningkatkan jumlah mahasiswa maupun tetamu intelektual mancanegara. Program ini akan menyebabkan tumbuhnya saling pengertian di antara para civitas academica. Terdapat kecenderungan positif di
Jika dua peran ini dapat dilaksanakan dengan baik maka perguruan tinggi telah melakukan fungsinya sebagai penyebar soft power. Perguruan tinggi yang demikianlah yang mampu bersaing di era globalisasi, yang dalam konteks ini, harus disikapi secara positif. Lebih menarik lagi jika dikaji lebih jauh mengenai salah satu dimensi globalisasi yang disebut dengan liberalisasi/pasar bebas, yang tidak dapat dihindarkan, juga menyentuh dunia pendidikan tinggi. Perguruan tinggi yang berkualitaslah yang siap bersanig di era pasar bebas. Sudah siapkan lembaga pendidikan tinggi
Penutup
Saat ini bangsa
Jika perhatian lebih serius diberikan untuk mengembangkan pendidikan, maka bangsa
0 Responses to Pendidikan, Karakter Nasional, dan Soft Power dalam Era Kesejagatan:
Post a Comment